Senin, 01 Agustus 2011

Cerpen From Lamongan City


G a t h o l o c o
Cerpen Ahmad Zaini*

Di sepanjang jalan raya matahari siang menembus celah-celah daun pohon di pinggir trotoar. Cahayanya terlihat bulat melintasi aspal yang keras melekat. Pada bagian tengah jalan raya, fatamorgana berkilau laksana air yang bergelombang di tengah samudra. Panas udara pada siang hari sangat terasa saat truk melintas di jalan tersebut.
"Gatholoco! Gatholoco! Gatholoco!" teriak lelaki yang berjalan di badan jalan raya.
"Hai, minggir! Mau mampus, ya?!" kenek truk mengeluarkan umpatan kesal kepada lelaki itu.
Laki-laki yang berjalan di jalan raya tetap bergeming tak menghiraukan teriakan dari para sopir maupun keneknya. Rambut panjang sebahu yang menggimbal sesekali menutup wajahnya yang berkumis dan bercambang lebat. Dia tetap berjalan disertai kibasan tangan menyingkap rambutnya yang menghalangi penglihatannya.
"Hai, pilih gatholoco! Hidup gatholoco! Contreng gatholoco! Gatholoco…..!" teriaknya yang mengundang perhatian banyak orang.
Kerumunan orang di sebuah perempatan jalan memandang perilaku dari laki-laki edan yang ganjil. Sebagian dari mereka menggeleng-gelengkan kepalanya seakan tak percaya bila orang edan seperti dia bersikap seperti para caleg yang sedang berkampanye. Mereka seperti merasakan ada yang aneh pada diri lelaki itu.
"Pilih saya, gatholoco! Jika menang kalian makmur! Ha, ha, ha, ha!" laki-laki itu melompat-lompat kegirangan.
"Aduh, bangsat kamu!" ia kaget lantas terdiam saat mukanya terpercik air kencing sapi dari atas truk yang melintas di depannya.
"Ha, ha, ha, ha!" tawa orang-orang yang berkerumun di perempatan jalan itu.
"Hai, kenapa kalian tertawa? Dasar gila kalian! Saya ini caleg gatholoco. Jangan menghina saya! Ha, ha, ha, ha!" dengan warna muka yang cemberut kesal.
Tanpa permisi pada orang-orang yang berkerumun di perempatan jalan, laki-laki itu berjalan meninggalkan mereka. Dia berjalan dengan langkah mantap seperti anggota dewan yang menanting koper yang berisi berkas-berkas pengajuan proyek pembangunan gedung dewan yang baru. Perut gendutnya terguncang-guncang saat dia berlari-lari kecil sembari tertawa. Cambang dan kumisnya dipenuhi ludah lantaran sepanjang jalan dia selalu berorasi ngelantur yang tiada juntrung. Kedua tanganya sibuk mengusap wajahnya yang berhari-hari tiada pernah tersentuh air.
Pada sebuah kali ia berhenti. Dia memandang jernih airnya yang berkilau laksana menyimpan sejuta permata. Ia meraih air dengan telapak tengannya kemudian dibasuhkan ke mukanya. Sisa-sisa air yang menempel pada telapak tangannya kemudian diusapkan ke rambutnya yang menggimbal.
"Hai, kurang ajar! Mengganggu orang mancing saja. Pergi sana!" teriak pemuda yang sedang memancing di kali diikuti oleh lemparan tanah liat ke arah punggung laki-laki edan itu. Pemuda itu terganggu dengan ulah laki-laki edan yang bermain air didekatnya  yang menimbulkan ombak pada air yang tenang.
Perlahan laki-laki edan meninggalkan kali tersebut tanpa meninggalkan kesan marah pada pemuda yang mengusirnya.
***
Setiap orang yang melihat dia selalu mendesah iba. Laki-laki yang sekarang gila itu tak lain adalah Pak Hedra, juragan barang bekas yang terkenal di daerah Gandulsari. Perawakan yang tambun dengan muka yang tampan itu kini tak terawat seperti sebelumnya. Rambutnya sebahu kumal penuh dengan kutu. Kedua tangannya selalu terlihat menggaruk-garuk rambut kumalnya. Sepanjang hari dia tak pernah mandi dan tak pernah berhenti berjalan. Ia berjalan ke sana kemari berteriak-teriak dengan programnya. Ia teringat sewaktu berkampanye pencalonan dirinya menjadi anggota caleg.
Pak Hendra belum puas dengan keberhasilannya menjadi pengusaha barang bekas. Dari usahanya itu dia mampu membangun rumah mewah senilai 1,5 milyar di daerah Gandulsari. Belum lagi tanahnya yang berceceran di daerah-daerah sekitarnya yang luasnya mencapai puluhuan hektar. Istri dan kedua anaknya juga dibelikan mobil mewah yang masing-masing mobil harganya 1 milyar rupiah.
"Wow, luar biasa," perasaan takjub dari setiap orang yang baru mengetahui kekayaan yang dimiliki oleh Pak Hendra.
Entah angin apa yang membangunkan keinginan Pak Hendra sehingga ia ikut mencalonkan dirinya sebagai caleg dari partai yang kini mulai ditinggalkan pendukungnya. Dia sangat yakin bisa menang menjadi anggota legislatif dengan modal kekayaan yang dimilikinya.
Istri dan anak-anaknya sudah pernah mengingatkan Pak Hendra agar tidak ikut menjadi caleg pada pemilu tahun ini. Mereka menginginkan agar Pak Hendra menekuni bisnis barang bekasnya yang sudah merambah hingga ke luar propinsi.
"Tenang saja, Bu! Saya pasti menang," katanya mantap.
Istrinya hanya diam saja mendengar kemantapan suaminya yang akan maju sebagai caleg. Dia hanya wanti-wanti jangan sampai suaminya diperalat oleh orang-orang yang hanya ingin mengeruk harta bendanya saja.
"Ah, tak mungkin itu, Bu!" imbuhnya.
"Juga perlu diingat! Bapak itu belum mempunyai pengalaman masalah politik," tambah istrinya.
"Saya bisa membayar orang yang ahli berpolitik menjadi tim sukses saya. Sudahlah, Bu, yang penting beres! Menang, menang!" ungkapnya dengan kepercayaan diri yang tinggi.
Pak Hendra pandai membaca situasi masyarakat sekarang ini. Mereka sudah tidak mempedulikan caleg yang bakal dipilih. Mereka akan memilih caleg yang berduit dan selalu memberinya uang.
"Masyarakat sekarang sudah mata duitan," katanya.
Nah, dasar inilah yang dijadikan alasan Pak Hendra maju sebagai caleg dalam pemilu tahun ini. Ia akan membagi-bagikan uang kepada semua lapisan masyarakat di daerah Gandulsari dan sekitarnya.
"Pasti mereka akan memilih saya," ucapnya disertai kepulan asap rokok dari mulut yang dilingkari kumis tebal.
Pak Hendra kemudian mengumpulkan orang-orang yang dianggap sudah piawai dalam politik. Mereka diundang ke rumahnya untuk direkrut menjadi tim sukses dirinya. Para pakar politik dari Gandulsari datang kemudian diberi tugas untuk mengkampanyekan dirinya sebagai caleg dalam pemilu tahun ini.
Tiga hari setelah pertemuan itu, boliho ukuran besar terpampang di setiap sudut daerah Gandulsari. Gambar Pak Hendra dengan senyum ramah terlihat jelas oleh setiap orang yang melintas. Dengan slogan "Bersama saya, ayo, bangun bangsa!", "Iki, lho, pilihan yang mantap!",  dan lain-lain. Belum lagi pamflet-pamflet, serta selebaran yang jumlahnya ribuan terpasang di setiap tempat kerumunan orang.
Nama Pak Hendra semakin tenar di daerah Gandulsari dan sekitarnya. Penduduk di daerah sekitar Gandulsari berdatangan ke rumah Pak Hendra untuk sekedar menyampaikan bahwa mereka akan memilih dia. Setiap penduduk yang datang ke rumahnya dan menyatakan akan memilih Pak Hendra akan diberi uang sebagai kontrak politik.
"Hidup Pak Hendra! Hidup Pak Hendra!" teriak penduduk yang disambut oleh Pak Hendra dengan lambaian tangan kebahagiaan.
"Terima kasih, terima kasih!"
Setiap hari orang yang datang ke rumah Pak Hendra bisa mencapai dua ratus orang. Setiap orang yang datang diberi uang sebesar 50 ribu rupiah. Jadi setiap hari Pak Hendra harus mengeluarkan uang sebesar 10 juta rupiah. Belum lagi para pengurus karang taruna atau organisasi kepemudaan di daerah itu yang menyodorkan proposal kegiatan. Dalam sehari bisa terkumpul sebanyak 50 buah proposal. Setiap proposal menyodorkan bantuan sebesar 10 juta sampai 50 juta. Bahkan ada dari daerah terpencil mengajukan permohonan bantuan senilai 200 juta untuk pengaspalan jalan di daerah mereka. Selama empat bulan Pak Hendra mengeluarkan dana sekitar 100 milyar rupiah.
Dia sekarang berubah menjadi orang yang gila jabatan. Harta kekayaannya dikuras untuk keperluan kampanye hingga tanah dan mobil mewah milik istri dan anaknya dijual. Rumahnya kini juga dalam proses penggadaian.
Di tengah para pendukungnya Pak Hardi berteriak-teriak, "Contreng nomor satu, contreng nomor satu. Sekali lagi jangan lupa contreng nomor satu!" kemudian dikuti gemuruh tepuk tangan pendukungnya.
"Hidup Pak Hendra, Hidup Pak Hendra!" dibalas lambaian tangan oleh Pak Hendra yang dalam setiap kampanyenya didampingi istri dan anak-anaknya serta tim suksesnya.
Hiruk pikuk warga yang akan menggunakan hak pilihnya terpusat di TPS daerah Gandulsari. Mereka berduyun-duyun mendatangi tempat pemungutan suara. Tua dan  muda yang sudah tercantum dalam DPT datang dengan semangat agar Pak Hendra terpilih menjadi anggota legislatif untuk masa lima tahun ke depan.
Entah mengapa ketika hasil pemungutan suara dibacakan panitia pemungutan suara, banyak suara yang tidak sah. Beberapa di antara mereka tidak bisa mencontreng sehingga contrengannya tidak sempurna. Bahkan dari mereka ada yang salah alamat mencontreng ke nomor caleg yang lain. Bukan mencontreng nomor Pak Hendra yang telah memberinya uang. Akhirnya perolehan suara Pak Hendra kalah dari caleg yang lain. Dia berada di urutan ketiga dari dua jatah anggota legislatif partainya.
"Tidak mungkin! Tidak mungkin saya kalah. Jelas ada kecurangan!" Pak Hendra panik setelah perolehan suara dirinya tidak mencapai angka yang semestinya.
Badannya yang tambun terguncang oleh kenyataan kalau dirinya kalah dari caleg yang lain. Cambang dan kumisnya bertambah sangar saat mukanya cemberut kecewa dan kesal. Semua harta dan kekayaan yang dimilikinya telah dikuras untuk kepetingan kampanye. Tapi kenyataannya dengan modal yang begitu banyak tidak menjamin dirinya memenangkan pemilu legislatif dalam partainya.
Dia bingung harus bagaimana lagi. Rumah, tanah, dan mobil mewahnya sudah terlanjur dijual. Sekarang dia tidak mempunyai apa-apa lagi. Bahkan sekarang dia terpaksa harus tinggal sementara di rumah tim suksesnya yang megah dan mewah. Mobil yang mereka tumpangi bukan lagi miliknya tapi sudah diberikan kepada tim suksesnya.
"Sial, dasar bodoh kalian. Bisanya hanya minta ini, itu saja! Sekarang buktinya mana? Becus bekerja atau tidak kalian ini, hah?!" umpat Pak Hendra kepada para tim sukses.
"Gatholoco......! Gatholoco....!" teriaknya yang tak dihiraukan oleh orang-orang yang berada di sekelilingnya termasuk istri dan anaknya.
Semenjak itulah Pak Hendra kehilangan keseimbangan berpikirnya. Ia tak mampu mengendalikan emosi hingga ia kehilangan akalnya. Sekarang ia menjadi orang gila yang berteriak-teriak, "Gatholoco! Contreng Gatholoco! Pilih Gatholoco!" di setiap perempatan jalan dan tempat-tempat umum lainnya. ***
Wanar, Pucuk, Lamongan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar